MUTIARA KEHIDUPAN

man jadda wajada

Rabu, 28 Februari 2018

Mengejar Do'a (3)


“Ayo Kakak, waktunya istirahat. Kakak pipis dulu, sama gosok gigi udah Ibu siapkan.[L1]  Jangan lupa wudhu ya.”
“Siap Buk. Aku juga udah tau, kalau mau tidur itu wudhu dulu, biar tidurnya tenang nggak digangguin syetan.”

Cuplikan pembicaraan yang setiap malam berulang. Kadang merasa, kapan sih anak paham tanpa disuruh? Tanpa diingatkan? Duh Ibu, anakmu baru lima tahun usianya. Bahkan masa egosentrisnya masih suka muncul.

Percayalah, kalimat berulang itu suatu saat akan membuahkan hasil. Hanya soal waktu, yang butuh kesabaran ekstra.

Itulah kalimat-kalimat tanda sayang. Bukankah Islam mengajarkan untuk sayang anak? Bukankah Rasululloh mencontohkan bagaimana cara menyayangi anak-anak?

Sayang anak itu, maknanya sangatlah luas. Dari hal receh sampai yang besar. Sejak masa mengandungnya, ah tidak, bahkan sejak ikatan suci dua insan berbeda kelamin itu disakralkan. Lalu melahirkannya, menyusui, menyuapi, menggendong, mengajak main, membacakan buku cerita, menyekolahkannya, dan banyak hal lainnya, hingga jasad ini kembali ke asalnya. Itu semua, rangkaian dari sebuah pendidikan kepada anak.

Disini, di Shalihah MotherhoodBanyak dibahas soal pendidikan anak, dengan berbagai versi, beragam sumber. Dimana kita sebagai orang tua, bisa menggunakannya sebagai referensi. Kenapa sekedar referensi? Karena kita lebih tau apa yang dibutuhkan anak-anak kita, sebagaimana orang lain lebih memahami kondisi anak-anak mereka. Contohnya nih, soal screen time. Entah lewat gadget, tv, atau laptop. Orang tua pastinya ingin berikan yang terbaik dong, untuk anak-anaknya. Makanya, peran komunikasi antara anak dan bapak ibunya, penting banget. Dan rasa sayang diantara keluarga ini berpengaruh ke pola pendidikan. Sayangnya sang ayah dan ibu, kadang dicurahkan dengan cara berbeda. Belum lagi sayangnya nenek atau kakek, akan beda lagi. Nah pinter-pinternya kita mengatur saja, supaya semua saling sinkron. Diantara kami disini, ada yang sudah berhasil, ada yang belum. Bukan karena tanpa usaha, tapi memang masih berproses.

Disini, di Shalihah Motherhood. Aku belajar tentang tipikal anak. Aku belajar tentang bagaimana menghadapi anak tantrum. Aku belajar manajemen emosi. Aku belajar…banyak hal. Bahkan tentang jajan anak pun, aku belajar disini. Ilmu itu bisa datang kapan saja, dari siapa saja. Jadi, jangan pernah lelah belajar, dan juga berbagi.


Terakhir, sebuah postingan Bunda Farzan, yang menjadi pengingat di tengah-tengah diskusi, menjadi penyubur cinta dan sayang di kala semu.

Bila rumah tak lagi memberi keteduhan jiwa bagi penghuninya,tempat tinggal yang megah itu hanya akan menjadi tempat penghuninya menghempaskan tubuh yang letih. Mereka ada dalam satu rumah, tapi tak ada kebersamaan, apalagi saling rindu saat berpisah dan saling canda saat bersama. Ibarat penumpang pesawat. Mereka menaati peraturan penerbangan yang berlaku, makan bersama pada saat meal time (waktu makan), tetapi tak ada kebersamaan. Satu sama lain tidak saling mengenal meski duduk bersama. Nah, betapa mengerikannya kalau dalam sebuah rumah penghuninya tidak saling mengenal sehingga tidak ada pertautan jiwa yang erat antara satu dan yang lain. Mereka duduk bersama, tapi tanpa kebersamaan. Bahkan, mereka—suami dan istri—melakukan hubungan intim, tetapi tidak ada keintiman di hati keduanya

Alhasil, perkara-perkara kecil akan besar akibatnya kalau kita remehkan. Berawal dari sebutan yang tidak mengakrabkan jiwa, hubungan suami dan istri menjadi kurang hangat. Meski komunikasi tetap berlangsung dengan lancar, tetapi tetap saja terasa hambar. Ini pada gilirannya akan tetap menciptakan jarak psikologis antara keduanya, bahkan dapat berlanjut sampai kepada anak. Keadaan ini nantinya akan berpengaruh pada kualitas perhatian antar-anggota keluarga. Ibarat shalat berjamaah, kalau shaf-nya rapat, kita akan segera tahu bahwa makmum di sebelah kita sedang demam, tetapi sulit merasakannya bila shaf-nya longgar. Begitu pula jika makmum di sebelah kita gelisah shalatnya sehingga sibuk menggaruk-garuk sikunya, kita akan cepat merasakannya. Akan tetapi, ini tidak akan terjadi jika shaf-nya sangat longgar

Merapatkan “shaf” dalam jamaah keluarga adalah dengan menjalin kehangatan dan keakraban dalam keluarga. Salah satu hal yang dapat kita lakukan untuk mengawalinya adalah memanggil suami atau istri kita dengan panggilan yang akrab serta sebutan yang baik. Sebutan yang menunjukkan penghormatan akan menumbuhkan rasa cinta, sedangkan sebutan yang mesra serta akrab akan membangkitkan kerinduan dan kebersamaan

Inilah yang menumbuhkan rasa aman pada tiap-tiap penghuni rumah sehingga memungkinkan tumbuhnya suasana yang saling mendukung dalam rumah. Inilah yang menjadikan antara anggota keluarga dapat saling menasihati dalam kebaikan dan saling mengingatkan dalam kesabaran (tawashaw bil haq wa tawashaw bish shabr). Di atas itu semua yang sanggup membuat kita berlapang dada menerima masukan, bahkan dari anak kita yang masih kecil, adalah tertancapnya iman yang lurus di hati. Bila ini benar-benar tumbuh dalam keluarga kita, komunikasi akan berlangsung dengan sangat mesra dan penuh kehangatan sehingga cinta dapat selalu bersemi. Anak-anak tidak perlu gelisah di luar rumah bila ia menemukan tempat untuk curhat di rumahnya sendiri. Begitu pula suami dan istri.

Kita, dapat nggak, ya …?



Baiklah, there is no super dad, no wonder mom, no magnificent son or daughter. We are just wonderfull family. Siapkah mengarungi bahtera rumah tangga yang belum usai? Mengejar do’a-do’a yang terus mengalir? Bismillah…



Yuk, follow kami di:
IG: @shalihah_motherhood
FB: https://www.facebook.com/shalihahmotherhood/





 [L1]

0 komentar: