MUTIARA KEHIDUPAN

man jadda wajada

Food Science and Technology

Penurunan Kualitas Selama Proses Pengalengan Ikan

Kajian ini difokuskan pada kerugian gizi dan sensorik sebagai sebab berbagai perlakuan awal sebelum pengalengan seperti (dingin, pembekuan dan penyimpanan beku dan memasak). Sebuah langkah memasak biasanya digunakan untuk mengurangi kelembaban dan menonaktifkan aktivitas enzim endogen, sebuah perlakuan termal ketat (sterilisasi) dilakukan untuk menonaktifkan mikro -organisme, dan penyimpanan kaleng yang tepat diperlukan untuk menjamin palatabilitas yang baik dari produk. Makanan laut diketahui memiliki gizi tiggi baik protein, lemak, maupun vitamin larut lemak. Khususnya asam lemak takjenuh rantai ganda ω-3 telah menunjukka efek positif pada pencegahan penyakit tertentu pada manusia.

Produk ikan adalah komoditi penting di dunia namun produk ini merupakan komoditi yang mudah rusak. Kerusakan ikan terjadi setelah kematian dan diperburuk dengan keberadaan mikroorganisme. Beberapa jenis Ikan tidak dapat dikalengkan karena teksturnya akan hancur akibat proses termal. Pengalengan harus dirancang agar dapat mempertahankan nilai nutrisi dalam bahan pangan. Panas yang diberikan dapat menginaktifkan enzim bakteri dan apabila dapat dijaga agar tidak terjadi reaksi bahan pangan dengan wadah maka produk tersebut dapat menjadi awet. Masalah yang sering terjadi adalah kerusakan atau penurunan nutrisi sebelum pengalengan. untuk mengantisipasinya dilakukan penyimpanan dingin dan beku.

A. Perubahan Kualitas Produk Selama Penyimpanan
     Kerusakan dapat dihasilkan oleh faktor-faktor berikut:
1. Enzim mikrobia pembusukan
   Aktifitas ini mengubah oksida trietilamina mejadi trietilamin, menguraikan asam mino menjadi amonia, hidrogen sulfida, serta komponen lain yang tidak diharapkan. Yang perlu diperhatikan adalah pembentukan histamin yang dilaporkan untuk bertanggung jawab atas keracunan SCOMBOTOXIC
2. Aktivitas enzim endogen
    Asam laktat yang dihasilkan oleh glikolisis menyebabkan penurunan pH dan mengaktifkan enzim protease sehingga dapat mengakibatkan pembentukan asam amino bebas. Selain itu selanjutnya juga akan mengakibatkan penurunan kualitas ikan
3. Oksidasi lemak
    Asam lemak tak jenuh dari ikan dapat teroksidasi ketika kontak dengan udara, sehingga terjadi penurunan asam lemak yang sangat diperlukan. Selain itu juga akan terjadi ketengikan produk seiring dengan lamanya penyimpanan.
Perubahan kualitas selama penyimpanan dingin pada hasil laut yang terjadi pada proses pengalengan:
1. Deteksi penurunan kualitas dapat dianalisis berdasar parameter sensori, kimia dan fisik.
    a. Analisis sensori dan fisik
       Besarya ukuran ikan mempengaruhi waktu simpannya, semakin besar ukuran semakin lama waktu simpan. Kerusakan fisik seperti tekstur, kadar air, sifat listrik, fiskositas dan perubahan pH
   b. Formasi amina dan degradasi nukleotida
       Peningkatan jumlah yang sangat tajam pada total volatile bases (TVB) dan TMA telah di amati setelah 9-10 hari penyimpanan sebagai hasil akhir dari fase lag mikroorganisme dalam sarden (El Marrakchi et al 1996., 1990; Ababouch et, al.) Ikan tenggiri (Bennour et al 1991.,) dan ikan haring (utuh dan filet) (Fernández-Salguero dan Mackie, 1987). Dalam kasus ikan yang berukuran lebih besar, Tingkat TMA terlihat mengalami peningkatan yang tajam hanya dalam 20 hari selama penyimpanan albacore tuna (Pérez-Villarreal dan Pozo, 1990), Menurut Penilaian mental sensorik yang telah disebutkan.
Di antara amina biogenik,upaya upaya terfokus pada deteksi histamin. Peningkatan jumlah dari beberapa amina pada ikan tengiri telah diketahui setelah 7-9 hari dalam penyimpanan dingin (Ababouch et al 1996.,) dan sarden (Tabel 1; Gallardo et al)., 1997. Fernandez-Salguero dan Mackie (1987) menunjukan pentingnya peningkatan histamin dan kadar kadaverine selama penyimpanan dingin pada ikan utuh dan filet ikan hering.
Degradasi nukleotida (ATP) mengawali pembentukan formasi yang progresif pada hypoxanthine dibandingkan dengan waktu penyimpanan di sarden (Nunes et al., 1992), horse mackerel (Smith et al 1980.,) dan ikan salmon (Erikson et al.1997), Kerja nilai-k menunjukkan nilai korelasi yang besar dengan Penilaian sensori dan waktu penyimpanan di albacore (Pérez-Villarreal dan Pozo, 1990) dan salmon (Erikson et al)., 1997.
   c. Analisis Kerusakan Lipid
       Telah diketahui bahwa waktu penyimpanan ‘lean fish’ lebih lama dari pada ‘fatty fish’; kadar lemak dapat berfariasi tergantung jenis dan waktu penangkapan (Whittle et al., 1990, Nunes et al 1992.,). Kerentanan ikan terhadap pengalengan menunjukan adanya korelasi yang baik antara kerusakan lemak dan umur simpan selama penyimpanan dingin (Pigott dan Tucker, 1987;Undeland et al)., 1999.
     Sebelumnya, waktu pendinginan memperlihatkan efek negatif dari umur simpan pembekuan pada herring fillets (Undeland dan Lingnert, 1999) hal ini terlihat pada penyimpanan es memberikan efek pembentukan peroksida dan flourenscent dan hilangnya antioksidan endogen (α-tokoferol dan askorbat asam).

2. Efek penyimpanan dingin sebelum pengalengan pada kualitas produk kaleng
    Meskipun semua perubahan penting terjadi selama penyimpanan dingin, penelitian sederhana memfokuskan pada efek perbedaan kondisi pendinginan sebelum dikalengkan (waktu, suhu, es/rasio jumlah ikan) pada kualitas akhir produk kalengan. Jadi Slabyj dan True (1978) mengevaluasi efek dari beberapa kondisi penanganan pendinginan (3 dan 12% air garam sebesar 7,2 ° C dan 0,6 ° C) pada kualitas sarden kaleng yang sesuai. Disimpulkan Bahwa sarden biasanya memiliki umur simpan yang lebih pendek, sehingga untuk memperoleh penerimaan produk akhir sarden seharusnya dikalengkan selama 36 jam, ketika konsentrasi garam tinggi pada suhu 7,2 ° C, dan selama 3 hari ketika konsentrasi kadar garam tinggi (12% air garam) pada 0,6 ° C. Akhir-akhir ini (Aubourg dan Madinah, 1997), sarden disimpan pada 0 ° C selama 15 hari, pada suhu pendinginan yang berbeda-beda (0, 2, 6, 10, 13 dan 15 hari), sarden dimasakpada suhu (102-103 ° C) dan Sterilisasi (115 ° C, 45 menit; Fo=7).
     Setelah satu tahun penyimpanan dalam kaleng efek negatif dari waktu penyimpanan dingin sebelumnya terlihat pada kualitas produk kaleng. Dengan demikian, hubungan nonlinear nilai (r = 0,90) diperoleh antara waktu penyimpanan dingin sebelumnya dengan kerusakan lemak di produk sarden kaleng. Kenaikan index oksidasi lemak (formasi kandungan flouresencent) di ketahui dari contoh kaleng yang telah didinginkan lebih dari 6 hari.

B. Perubahan Kualitas Produk Selama Pembekuan dan Penyimpanan Beku
 Sebagai hasil dari masa simpan pendek dari pendinginan ikan, kelebihan bahan disimpan secara beku kemudian diprioritaskan untuk dikalengkan. Pembekuan diikuti dengan penyimpanan beku, merupakan salah satu metode yang terbaik untuk pengawetan ikan dan telah digunakan untuk meningkatkan penangkapan ikan di pantai dan di laut. hal itu membuat adanya kemungkinan lebih lama dalam penyimpanan pada daging ikan sehingga menghambat pertumbuhan mikrobia dan menurunkan aktivitas enzim. Namun pengukuran perubahan sensori, kimia dan fisik telah menunjukkan penurunan kualitas ikan yang berlanjut selama penyimpanan beku, sejak terjadinya perubahan yang tidak diinginkan yang terkait dengan lemak dan protein. Penelitian tentang pembekuan ikan menunjukkan 4 perbedaan pola kerusakan yang didahului kehilangan nutrisi dan sensori (Shenouda, 1980; Haard, 1992; Mackie, 1993; Xiong al. et, 1997, Erickson, 1997):
1. Denaturasi protein dan perubahan mikrostruktur
    Daging menjadi lebih keras, berserat, kurang elastis dan kehilangan perubahan-Otot Menjadi lebih keras, lebih berserat, dan kehilangan kemampuan dalam mengikat air. Kekuatan tekstur mengatur banyaknya daging yang dapat dimakan. Sebagai hasil, protein menjadi lebih cenderung mengalami kerusakan dan asam amino esensial menjadi lebih rentan untuk hilang.
2. Oksidasi dan hidrolisis lemak.
    Enzim-endogen (Lipase, phospholipases, lipoxygenase, peroksidase) Masih Aktif Selama penyimpanan beku, Terutama jika ada cahaya aatau katalis lainnya (kelompok heme, logam transisi) yang ada. Sebagai hasil kehilangan asam lemak essensial yang di produksi dan selisih yang luas dari oksidasi lipid dan komponen yang terhidrolisis yang di produksi sebagian besar dari itu merupakan molekul yang kecil, yang rentan berinteraksi kandungan ikan menyebabkan penurunan nilai nutrisi dan sensori produk.
3. Dekomposisi TMAO menjadi dimetilamina (DMA) dan formaldehid (FA)
    Degradasi ini dipercepat dengan enzim-enzim endogenus (TMAO dimetil). DMA menghasilkan bau dan rasa yang merugikan dan FA difasilitasi protein silang sehingga denaturasi protein dan kekuatan tekstur dihasilkan. Pola kerusakan terutama sangat penting bagi gadoid family, dimana kandungan rata-rata beberapa enzim endogenus berada.
4. Perubahan mioglobin
   Mioglobin yang tidak berubah dilaporkan sangat bertanggung jawab pada warna daging dalam kualitas baik. Selama penyimpanan beku protein teroksidasi menjadi metmyoglobin, yang mengawali penurunan kualitas sensori yang sangat penting pada produk ikan seperti pencoklatan pada daging.

C. Pembekuan dan Penyimpanan Ikan Beku pada Spesies ikan yang Umumnya dikalengkan
    Telah banyak penelitian yang berfokus pada bagaimana dampak penyimpanan beku terhadap kualitas spesies laut yang rentan dikalengkan. Penurunan nutrisi dan kualitas sensori serta lamanya lamanya masa simpan dibawah temperatur pembekuan menjadi obyek utama pada beberapa penelitian.
1. Analisis Sensori dan Fisik
    Evaluasi sensori mengindikasikan perubahan perbedaan masa simpan yang cukup signifikan pada spesies laut termasuk ukuran, kandungan lemak dan presentase kandungan lain. Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui perbandingan antara masa simpan pada suhu -22oC untuk spesies laut yang dikalengkan (Madrid et al., 1994).
     Oksidasi Albacore tuna dimulai setelah 6 bulan penyimpanan pada suhu -18 oC, walaupun banyak sampel yang masih dapat diterima kualitasnya pada penyimpanan selama 12 bulan (Ben-Gigirey et al, 1999).
Refsgaard et al. (1998) menyempurnakan bahwa penurunan atribut sensori pada pembekuan (-10, -20 dan -30 ° C) fillet salmon sampai 34 minggu, pada akhir masa penyimpanan, sampel terjaga pada dua temperatur yang sangat rendah dengan tetap mempertimbangkan tingkat keamanan untuk dikonsumsi.
     Percobaan lain dilakuakan pada jenis ikan dengan ukuran yang lebih kecil. Ikan-ikan kecil menunjukan masa simpan yang lebih pendek tetapi masih dapat diterima setelah 3 bulan pada suhu -18oC (Karaçam and Boran, 1996).
     Sarden giling dipelajari menurut beberapa karakter sensori ternyata dapat diterima sampai 90 hari selama dijaga pada suhu -20oC (Table 3; Verma et al., 1995).
Tengiri aman diawetkan pada suhu dibawah penyipanan beku (-23oC) selama 23-24 minggu (Nair et al., 1987).
     Analisis sensori (-25oC) pada cumi-cumi (Illex patagonicus) beku menunjukan kualitas yang masih bagus selama 360 hari, tetapi setelah 420 hari kualitasnya sudah buruk (Bykowski et al., 1990). Tidak terdapat perbedaan atribut sensori yang signifikan antara seluruh ikan dan fillet dari horse tengiri beku (-18oC) (Simeonidou et al., 1997).
     Penyimpanan beku pada suhu -20 ° C mengakibatkan penurunan aspek fisik (kelarutan protein, kapasitas emulsi, Viskositas relatif, kapasitas menahan air) di sarden
(Verma et al 1995.,) dan pada pH serta kapasitas menahan air pada tengiri (Simeonidou et al 1997.,). Penyimpanan tengiri beku (-25 ° C) berdampak pada penurunan kapasitas pembentuk gel dan kekuatan jelly (Nishimoto dan Koreeda, 1979).

2. Bentuk Amina
     Kenaikan kandungan TMA, DMA, TVB dan FA diamati selama penyimpanan beku (-18 ° C) baik pada ikan maupun fillet dari tengiri (Simeonidou et al 1997.,); sampel fillet memperoleh nilai yang lebih tinggi dibanding seluruh ikan. Ben-Gigirey et al. (1999) menunjukkan peningkatan DMA ikan kecil yang komprehensif selama penyimpanan beku pada -18 ° C.
     Pembentukan histamin dipelajari selama penyimpanan beku (-20 ° C) tengiri sampai 33 minggu (al Zotos et 1995.,). Peningkatan yang signifikan diamati setelah 11 minggu penyimpanan. yang diamati IMS besar WS pembentukan setelah disimpan selama 11 minggu (Gambar 3). Pada percobaan yang sama, setelah dicairkan, bahan beku digunakan untuk pengasapan panas selanjutnya; dengan demikian, waktu penyimpanan beku ditunjukkan untuk mendesak efek baik dari pembentukan histamin pada sisa produk pengasapan.

3. Analisis Kerusakan Lemak
    Pengembangan progresif dari hidrolisis (pembentukan asam lemak bebas) dengan waktu penyimpanan diamati untuk berbagai jenis. Contoh memperhitungkan ikan ukuran kecil seperti ikan teri pada suhu -18 ° C (Karaçam dan boran, 1996), zona otot tengiri dengan suhu -15, -30 dan -40 ° C (Go et al., 1977), otot putih dan gelap dari haring Baltik pada -15 ° C (Clupea Gadus) (Bosund dan Ganrot, 1969a) dan tengiri (-23 ° C) (Nair et al., 1987). Juga dalam ukuran yang lebih besar seperti spesies ikan salmon Atlantik (Refsgaard et al, 1998.) Dan Albacore tuna (Aubourg et al, 1989.), diamati bahwa hidrolisis lipid yang terkait dengan pengembangan oksidasi lipid (Han dan Liston, 1987) dan dihambat oleh suhu yang lebih rendah (Untuk et al, 1977; Refsgaard dkk, 1998 ..).
     Oksidasi lipid dinilai dengan beberapa metode. Pembentukan peroksida diamati pada ikan teri (-18 ° C) (Karaçam dan boran, 1996), fillet ikan pada -18 ° C (Undeland et al., 1998b), bagian berbeda dari tengiri disimpan pada -15, -30 dan -40 ° C (Go et al, 1977.) dan ikan salmon Atlantik di suhu -10, -20 dan -30 ° C (Refsgaard et al, 1998.).
     Kromatografi gas-cair juga digunakan untuk menilai volatil aldehid dan keton stabil selama penyimpanan beku ikan salmon Atlantik (Refsgaard et al, 1998,.) dan oleh di rasio 22:06 / 16:00 asam lemak (Beltrán dan Moral, 1989 ; Castrillon et al, 1996) .. HPLC dipekerjakan untuk menilai hilangnya endogen (isomer tokoferol) antioksidan (Undeland et al, 1998b;.. Refsgaard et al, 1998).
Pengembangan oksidasi lipid sekunder senyawa yang terdeteksi oleh tingkat dukun beranak zat reaktif. Penelitian account untuk beku (-18 ° C) ikan (Karaçam dan boran, 1996), tenggiri (-23 ° C) (Nair et al, 1987.), Berbeda Zona Atlantik tenggiri (Go et al, 1977.) Dan Atlantik salmon (Refsgaard et al 1998.). TBA Indeks berhasil digunakan selama penyimpanan (-20 ° C) beku dari dua spesies tuna (cakalang dan kuning) untuk memprediksi rak-kehidupan (Kurade dan Baranowski, 1987).
Akhirnya, interaksi senyawa pembentukan melalui deteksi fluoresensi dan browning ditentukan dalam bentuk fillet ikan (Undeland et al, 1998.) Dan sarden (Aubourg et al, 1998.).

4. Protein dan Perubahan Asam Amino
    Sebagai hasil dari sarden beku (-20 ° C) penyimpanan kerugian yang signifikan dari-SH kelompok yang diamati dan juga hilangnya kelarutan protein, asam amino, yang mengalami penurunan sebanyak S-asam amino, diikuti oleh histidin, tirosin, leusin, lisin, dan fenilalanin (Castrillon et al, 1996.). Pada percobaan yang sama, kecernaan protein, nilai biologis dan denaturasi protein bersih juga turun sebagai akibat dari proses belajar.
     Pengaruh asam amino bebas dalam denaturasi protein makarel selama beku (-20 ° C) studi penyimpanan (Jian et al, 1987.) Menyimpulkan bahwa asam amino bebas kelompok NH3 (histidin, lisin, taurin, glisin, asam prolin dan glutamat) berinteraksi dengan gugus karbonil pada protein, sehingga dalam kasus histidin, lisin dan denaturasi protein taurin dipercepat.
    Efek pada perubahan protein selama penyimpanan beku (-20 ° C) dari makarel (scombrus segar) mempelajari (Zotos et al, 1995.). Protein denaturasi, yang berhubungan dengan protein garam-larut, dipengaruhi oleh waktu penyimpanan beku dan tampaknya dipengaruhi oleh asam amino bebas yang terbentuk selama penyimpanan beku.
     Akumulasi asam lemak bebas selama penyimpanan beku juga telah dikaitkan dengan efek yang merugikan pada kelarutan protein dan viskositas relatif (Careche dan Tejada, 1994) dan kerusakan oleh interaksi dengan tekstur protein (Shenouda, 1980; Mackie, 1993).

D. Pengaruh Pembekuan dan Penyimpanan Sebelumnya Frozen tentang Mutu Produk Kalengan
     Riset kecil telah diarahkan untuk menilai dampak kondisi penyimpanan yang sebelumnya dibekukan (waktu dan suhu) mungkin pada akhirnya kualitas ikan kaleng. Dengan demikian, pengaruh penyimpanan beku (-28 ° C) dari cumi sebelum perlakuan panas (uap pada 100 ° C dan autoclave pada 115 ° C) (Seidler dan Bronowski, 1987) telah ditemukan untuk mengerahkan tidak berpengaruh signifikan terhadap lisin yang tersedia dan daging tryptophan konten yang disimpan tidak lebih dari 9-10 bulan penyimpanan beku. Namun, jika lebih beku periode kerja, kehilangan asam amino, the-SH konten grup dan berat ikan yang diamati setelah perlakuan panas.
      Dalam eksperimen lain, sarden disimpan beku pada -18 ° C sampai dengan satu tahun (Aubourg dan Madinah, 1997); pada waktu yang berbeda (0, 0,5, 2, 4, 8 dan 12 bulan), sarden diambil untuk memasak (102 -103 ° C), mensterilkan (115 ° C, 45 menit; Untuk = 7 menit) dan kaleng penyimpanan (12 bulan). Dampak negatif dari cold storage sebelumnya diamati untuk kualitas kaleng produk akhir. Dengan demikian, nilai korelasi yang memuaskan nonlinear (r = 0,91) yang diperoleh antara waktu penyimpanan sebelumnya produk beku dan kaleng kerusakan lipid jika diukur sebagai pengembangan senyawa fluorescent pada lapisan medium cair (Gbr. 4). Sebuah peningkatan yang signifikan dalam fluoresensi yang dihasilkan diamati setelah 4 bulan penyimpanan beku, kemudian, meningkat tajam diperoleh ketika mempertimbangkan 12 bulan penyimpanan. Menyimpulkan bahwa sarden tidak boleh dibekukan selama lebih dari 4 bulan pada -18 ° C jika sifat gizi dan sensori menerimanya harus dipertahankan dalam produk kalengan akhir.
     Aktivitas ATPase menurun selama beku (-25 ° C) penyimpanan makarel (Nishimoto dan Koreeda, 1979), fraksi larut air dari otot ikan agak terhambat karena sampel dibilas penurunan menunjukkan penurunan aktivitas ATPase yang lebih besar.
Oksidasi mioglobin tuna sirip biru berkurang dengan pembekuan cepat (suhu yang sangat rendah, ca -80 ° C) (Chow et al, 1987.); Ini penulis juga mengamati bahwa autoxidation mioglobin tergantung pH dan secara signifikan dipercepat oleh kehadiran NaCl.

E. Pemasakan
    Selama proses pengalengan, pemasakan bertujuan untuk mengurangi kelembaban berlebih, sehingga total eksudat yang dirilis dalam minimum produk kaleng minimal, kualitas sensoris, produk fisik dan kimia ditingkatkan dan umur simpan berkepanjangan. Setelah memasak dan sebelum ditempatkan di kaleng, pabrik pengalengan ikan yang didinginkan memungkinkan untuk disimpan pada suhu kamar (12-18 ° C), biasanya semalam.
     Lama pemasakan adalah berdasarkan berat ikan dan suhu awal (Pérez-Martín et al, 1989.). Setelah pengolahan, peningkatan relatif kadar lemak diproduksi sebagai akibat dari kehilangan air (Gallardo dkk, 1989; García Arias et al, 1994..). Penurunan kelembaban meningkat pada ikan dengan perlakuan pendinginan sebelumnya, dan ikan yang memiliki kandungan lemak sedang mengalami penurunan berat dan kelembaban yang lebih tinggi dibandingkan pada ikan dengan kadar lemak lebih tinggi (Joshi dan Saralaya, 1982).
    Dampak kerusakan dari pemasakan berpengaruh pada kualitas gizi dan sensori, terutama jika selama-dilakukan pengolahan (Cheftel et al, 1976; Pigott dan Tucker, 1990.): panas mendegradasi nutrisi, vitamin dan oksidasi lipid, pencucian vitamin yang larut dalam air, mineral dan protein serta ketangguhan dan kerapuhan protein ikan.

1. Perubahan Kualitas selama berbagai jenis ikan laut dimasak
    Karena perkembangan mikroba dan enzim endogen tidak aktif dihentikan oleh panas, perhatian selama memasak diberikan kepada oksidasi lipid dan interaksi lebih lanjut lemak teroksidasi dengan konstituen lain, terutama protein. Pada saat yang sama, protein didenaturasi oleh panas sebagai akibat perlakuan termal dan berubah menjadi molekul lebih reaktif.
a. Kerusakan Lipida
    Perhatian yang besar diberikan kepada variasi dalam isi PUFA. Berbagai percobaan (Maeda et al, 1985; Hearn et al, 1987; .. Suzuki et al, 1988; .. Gallardo et al, 1989) menunjukkan tidak ada perbedaan sebagai akibat dari memasak dalam kandungan PUFA (Tabel 4), bahkan jika kondisi memasak yang berbeda diperiksa (Gall et al, 1983); .. selainnya oksidasi lipid mengindiskasikan nilai peroksida dan yodium, meskipun memeriksa zona Albacore otot yang berbeda dengan berbagai tingkat lemak (Gallardo dkk, 1989; 1989 Aubourg et al,).
     Namun, lipolisis (pembentukan asam lemak bebas) dan senyawa karbonil (TBA dan nilai karbonil) telah diamati untuk mengembangkan dengan membandingkan sampel mentah dan matang (Tichivangana dan Morrisey, 1982; Yamamoto dan Imose, 1989;. Aubourg et al, 1995). Interaksi pembentukan senyawa antara lipid teroksidasi dan protein telah terbukti diproduksi dan diperiksa oleh pencoklatan dan deteksi fluoresensi (Aubourg et al, 1992, 1995.). Bahkan, meskipun kelas lipid netral tidak terpengaruh dengan pemasakan, beberapa kelas fosfolipid (etanolamin fosfatidilkholon) menunjukkan penurunan yang signifikan dalam konten (Tichivangana dan Morrisey, 1982; Yamamoto dan Imose, 1989).
      PUFA dalam sarden yang stabil saat pemasakan, tetapi tidak stabil terhadap oksidasi lebih lanjut selama penyimpanan berpendingin peningkatan tajam dalam nilai TBA selama waktu penyimpanan meningkat (Gambar 5).
     Peran positif dalam kualitas telah diamati untuk herring (Clupea Gadus) pemasakan di hidrolisis lipid (Bosund dan Ganrot, 1969) dan oksidasi (Bosund dan Ganrot, 1970) selama penyimpanan dingin berikutnya (-15 ° C), hal ini menunjukkan bahwa penurunan kerusakan lipid selama penyimpanan beku bisa disebabkan baik denaturasi enzim atau penurunan permeabilitas jaringan otot untuk oksigen. Panas inaktivasi lipoxygenase di danau ikan haring (Coregonus artedii) dicapai oleh perlakuan pemanasan ringan (5 menit pada 80 ° C) (Wang et al, 1991.).
      kondisi memasak yang berbeda (Waktu memasak: 38 menit, dan 54; suhu memasak: 55 ° C dan 100 ° C) diselidiki pada ikan cincang yang kemudian disimpan beku pada -18 ° C (Undeland et al, 1998.). deteksi Peroksida, pada absorbansi 234 dan 268 nm dan produk yang larut dalam lemak fluoresen menunjukkan bahwa stabilitas lipid terbaik dalam produk beku diperoleh pada waktu memasak minimum dan suhu yang minimum. Temuan ini diusulkan untuk panas inaktivasi enzim katalitik, tanpa aktivasi simultan hemoproteins.

b. Dekomposisi dan Kerusakan Konstituen lainnya
    Penelitian kandungan total asam amino bebas selama tuna dimasak menunjukkan bahwa tidak ada perubahan signifikan yang diproduksi antara sampel mentah dan matang (Tabel 5; Pérez-Martin dkk, 1988; Castrillon et al, 1996b..). Namun, beberapa kerugian telah terdeteksi untuk lisin pada total protein; Dan kerugian besar bagi beberapa vitamin (tiamin dan riboflavin) (Tabel 6) dan mineral (K, Ca dan Cu) (Seet dan Brown, 1983 Castrillon dkk, 1996.) konten (Seet dan Brown, 1983).
     Penilaian TMAO dekomposisi dan pembentukan amina di Albacore setelah memasak (Gallardo et al, 1990.) Hasilkan peningkatan yang signifikan dalam TMA dan isi TVB (Tabel 7).
     Histamin nilai mencapai tingkat yang relatif tinggi (di atas 100 ppm) sebagai hasil penguraian histidin (Tabel 1) ketika ikan tengiri dan ikan horse tengiri mengalami pemrosesan yang berlebihan oleh perlakuan termal (Gallardo et al, 1997.).

F. Langkah Sterilisasi: Sifat Umum
    Sterilisasi adalah langkah yang paling drastis dilakukan selama pembuatan ikan kaleng dan menjamin mikrobiologi yang inaktif di kaleng. Untuk menjaga kualitas ikan kaleng, paket tersebut harus memenuhi tiga kondisi berikut (Stansby, 1979; Horner, 1997):

1. Hermetik stempel integritas: segel kontainer dapat dijamin, sehingga isinya menjadi steril setiap saat (López, 1987; Horner, 1997). Masalah timbul terutama dari bahan baku pembentuk spora hadir dalam jumlah berlebihan atau, lebih umum, bisa masuk ke dalam dapat setelah pengolahan karena tidak benar tertutup atau terkontaminasi air pendingin.

2. Termal yang memadai paparan proses- waktu yang diberikan untuk mematikan pada temperatur tinggi yang diberikan harus digunakan sehingga penghapusan efektif patogen paling berbahaya dan yang tahan terhadap panas, terutama Clostridium botulinum, mengalami pemusnahan. Pengobatan diperlukan untuk sterilisasi produk tergantung pada bagian yang paling tidak dapat diakses dari makanan (spot dingin) dan ditentukan oleh studi penetrasi panas (Banga dkk, 1991.). Waktu dan temperatur yang digunakan tergantung pada geometri dari paket, karakteristik produk dan wadah produk dan jenis media pemanas (uap, panas kering, minyak, dll) (Lund, 1975; Oliveira et al, 1986;. Vieites et al, 1997) ..

3. Sterilisasi yang tepat pasca perawatan dan penyimpanan kaleng: A scrupulous dan higienis pasca-proses harus dilakukan. Setelah proses sterilisasi, kaleng ketika saat masih panas dan basah, yang paling rentan terhadap kebocoran melalui segel. Air pendingin harus diberi klorin dan kaleng basah tidak boleh dipegang.
3-4 bulan kaleng penyimpanan biasanya diperlukan untuk memperoleh perubahan yang bermanfaat pada tekstur dan palatabilitas yang optimal di sebagian besar produk ikan kaleng (Kramer, 1982; Ruiz-Roso et al, 1998.). Penyimpanan suhu tinggi (di atas 35 ° C) harus, dengan segala cara, harus dihindari untuk mencegah perkembangan spora termofilik, yang dapat bertahan dari suhu penyimpanan efek biasanya "proses botulinum." Juga sangat penting jika ikan kaleng asam-diasinkan disimpan untuk waktu yang relatif lama (dua tahun), karena tindakan korosif dari konstituen (López, 1987).

G. Perubahan Kualitas Hasil Akibat dari Sterilisasi dan Pengalengan
    Sebagai hasil dari sterilisasi dan penyimpanan kaleng langkah lebih lanjut perubahan berikut dapat dipertimbangkan, yaitu:

1. Efek Pengisian Medium
    Sterilisasi dan penyimpanan kaleng berikutnya dapat mempermudah penurunan konstituen dalam lapisan media. Bila air yang digunakan oleh media, konstituen seperti asam amino, mineral dan vitamin hidrofilik larut ke dalam media cair dapat, yang menyebabkan kehilangan yang signifikan dari nutrisi makanan padat jika tidak dikonsumsi dengan ikan.
     Jika pengalengan dilakukan dalam minyak, otot ikan juga bisa kehilangan protein, mineral dan vitamin, karena protein didenaturasi dengan proses panas ke titik pelepasan air yang cukup ke ruang atas dari kaleng. Hilangnya air dapat bervariasi dalam kisaran 9-28% tergantung pada lamanya sterilisasi dan pemasakan sebelumnya, spesies, pH dan faktor fisiologis lainnya. Hal ini diperlukan untuk membatasi kerugian dalam kaleng, yang dikenal sebagai lewat-masak, jika tidak memberikan penampilan, enak dipandang menebal dengan isi pembukaan kontainer. Daging ikan berminyak menderita kurang dalam hal ini, karena efek dari pembatasan lipid pada migrasi air.
     Ketika minyak digunakan sebagai media pengisi, interaksi antara asam lemak dari minyak dan lemak fraksi mengisi otot ikan terjadi. Ada peningkatan drastis proporsi lemak daging relatif dari asam lemak yang melimpah di dalam inti minyak(Tabel 4). Pada saat yang sama, karakteristik asam lemak lipid daging telah terbukti disajikan di inti minyak setelah pengalengan dan penyimpanan kaleng (Tabel 8) Al (et Aubourg, 1990;. García Arias et al, 1994; Aubourg et al. , 1995b;. Ruiz-Roso et al, 1998) .. Interaksi antara dua jenis lipid meningkat dengan timah penyimpanan jangka panjang (Tabel 4) (García Arias et al, 1994; Aubourg, 1998.). Akibatnya, penggunaan media pengisian memiliki kandungan PUFA yang tinggi telah direkomendasikan untuk menjaga manfaat kesehatan positif dari ω3-PUFA hadir dalam hasil laut (Hale dan Brown, 1983).

2. Vitamin dan Mineral
     Kehilangan beberapa mineral (Na, K, Mg, P, Cu, Fe, Ca) dari otot menjadi media perendaman terjadi pada tuna kaleng (Seet dan Brown, 1983). Hal diamati bahwa kandungan lemak tinggi dalam daging yang diproduksi kehilangan mineral yang lebih rendah, menunjukkan semacam interaksi antara dua jenis konstituen (Gall et al, 1983.). Keuntungan dari pengalengan ikan adalah bahwa tulang menjadi lembut bertekstur dan dengan demikian dapat dimakan, menyediakan sumber penting kalsium (Maret, 1982).
      Vitamin yang tidak stabil terhadap panas adalah tiamin, riboflavin, niacin, pyridoxine dan asam pantotenat adalah nutrisi yang paling rusak oleh proses sterilisasi (Tabel 6 Hasil yang bervariasi telah dijelaskan hilangnya vitamin (50-80% untuk thiamin, 71-73% untuk niacin, 49-50% untuk riboflavin) (Bentereud, 1977; Seet dan Brown, 1983;. Banga et al, 1993b). Namun, sebagian besar vitamin (A dan D) dapat diterima bertahan (Bender, 1987).

3. Volatile dan amina biogenik
     TMAO dapat dikurangi selama perlakuan panas untuk molekul yang tidak dikehendaki seperti TMA dan DMA (Yeannes et al, 1983; Gallardo et al, 1990..). Dengan demikian, di antara eksperimen yang berbeda meningkat secara bertahap dalam basis volatile diukur seperti TVB atau sebagai amina individu (DMA dan TMA) telah diamati dengan membandingkan bahan baku dan produk kaleng akhir (Tokunaga, 1975; Yeannes et al, 1983 ;. Besteiro et al 1993) .. Gallardo et al. (1990) menunjukkan kecenderungan naik: bahan mentah< bahan dimasak < pengaleng untuk TVB dan amina individu, sementara TMAO menunjukkan kecenderungan yang terbalik (Tabel 7). hal ini mengamati bahwa jika kualitas kerja bahan baku baik (25-30 mg TVB/100 otot g) dan perlakuan yang tepat dilakukan sterilisasi (Untuk = 7 menit), kaleng sampel akan berada dalam kisaran yang memuaskan dan diterima (40 - 45 mg TVB / 100 otot g).
      Tidak terbentuknya histamin dan amina biogenik lain yang relevan telah terdeteksi ketika bahan baku yang digunakan dalam kondisi baik, dalam kasus ini tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara sampel segar dan kalengan (López-Sabater et al, 1994;. Veciana-Nogués et al, 1997 ) .. Kadaverina dan konten putresin menunjukkan korelasi yang baik dengan kualitas sensoris tuna cakalang kaleng (Sims et al, 1992.).

4. Degradasi nukleotida Produk
    Inosin monofosfat, inosin dan hipoksantin ditentukan sepanjang langkah-langkah yang berbeda dari proses pengalengan (Tabel 9;. Veciana-Nogués et al, 1997). Karena tidak ada senyawa dihasilkan oleh perlakuan panas dan juga karena isinya tidak menurun dengan proses pemasakan atau sterilisasi, molekul ditemukan tepat sebagai indeks kualitas untuk menilai kualitas ikan mentah. Namun, Rodríguez et al. (1996) melaporkan bahwa ketika perlakuan kuat terlibat, hanya hipoksantin yang tetap konstan selama proses pengalengan. Gill et al. (1987) menunjukkan korelasi yang baik antara hipoksantin konten dalam kaleng tuna kuning dan lama penyimpanan sebelumnya bahan baku pada 10 ° C dan 18 ° C.

5. Lipid
    Perlakuan panas yang kuat dan adanya beberapa katalis di otot ikan dapat mendukung oksidasi lipid nonenzimatik dan hidrolisis, sehingga merusak rasa dan hilangnya nutrisi esensial penting dapat dihasilkan (Hsieh dan Kinsella, 1989; Harris dan Tinggi, 1994).
a. Hidrolisis
    Pembentukan yang signifikan dari asam lemak bebas terjadi selama sterilisasi pada bagian otot yang berbeda dari Albacore (Aubourg et al, 1990.). Analisis oleh penelitian C-NMR membuktikan bahwa hidrolisis lebih mudah terjadi pada posisi sn- 2 dari trigliserida dari pada sn-1 dan sn-3, selama penyimpanan beku (Medina et al 1994.,).
     Mekanisme dan perluasan hidrolisis tergantung pada minyak pengisian media, atau air garam (Medina et al, 1995.). Perbandingan waktu yang berbeda / kondisi sterilisasi suhu (Untuk = 7 menit dalam semua kasus) menunjukkan bahwa perlakuan dengan waktu yang lebih pendek namun suhu yang lebih tinggi menyebabkan pengembangan hidrolisis lebih tinggi (Aubourg et al, 1997.).

b. Oksidasi
    Studi oksidasi lipid telah difokuskan pada komposisi PUFA. Tidak ada perubahan yang signifikan pada konsentrasi PUFA akibat perlakuan panas dalam kaleng yang disegel yang terdeteksi di sarden, mackerel dan herring (Hale dan Brown, 1983), tuna (Aubourg et al, 1990.) Dan kepiting (Giddings dan Hill, 1975 ). Namun, , jenis molekul plasmalogen yang muncul sangat tidak stabil, sehingga penurunan besar diamati sebagai akibat dari perlakuan sterilisasi standar (Untuk = 7 menit) di air garam dan minyak bila digunakan sebagai lapisan menengah (Tabel 10) (Madinah et al, 1993; 1995b Aubourg et al,).
     Primer (nilai peroksida; Diena terkonjugasi) dan sekunder (TBA dan nilai karbonil) tidak mampu deteksi oksidasi lipid metode akurat untuk menguji perbedaan kualitas produk kaleng (Aubourg et al, 1995a; Aubourg dan Madinah, 1997.). Atas dasar bahwa senyawa oksidasi bereaksi dengan konstituen lain ikan, deteksi senyawa interaksi dengan properti fluorescent mereka disediakan alat akurat untuk menilai tingkat kerusakan produk kaleng. Ini deteksi fluoresensi menunjukkan hubungan penting untuk kualitas bahan baku dan sejauh mana perlakuan termal (Aubourg et al, 1992;. Aubourg dan Madinah, 1997).

6. Asam Amino Bebas dan Protein
    Panas denaturasi protein tidak menyebabkan kehilangan nutrisi. Namun, diketahui bahwa denaturasi protein menjadi lebih reaktif dan mudah rusak bila berinteraksi dengan konstituen lain.
Total asam amino bebas menurun selama pengalengan tuna, terutama apabila dilakukan dengan proses yang berlebihan. (Tabel 5) . Hal ini dipostulatkan
     asam amino bebas telah hilang sebagai akibat dari terekstraksi dengan media miring dan / atau reaksi interaksi dengan lipid teroksidasi. Akibatnya, deteksi ini diakui sebagai alat yang mungkin berguna untuk menilai sejauh mana perlakuan panas selama strerilisasi.
     Beberapa penelitian yang diterbitkan atas Perubahan individual asam amino yang disebabkan pemanasan.Kehilangan beberapa asam amino esensial telah dilaporkan, kecuali untuk histidin dan asam sulfat amino (Geiger dan Borgstrom, 1962; Tanaka dan Kimura, 1988). Sebuah retensi 80-85% di lisin untuk tuna kaleng (Seet dan Brown, 1983) terdeteksi; degradasi termal dalam otot putih tuna ditemukan sebagai urutan pertama proses kinetik (Banga et al 1992.,) dan overprosesing ditunjukkan untuk merduksi jumlah lisin dalam kaleng tuna (Castrillon et al 1996.,). Akibatnya,hal ini diterima jika prosedur standar digunakan, kualitas ikan kalengan tetap setelah proses berlangsung.
     Jenis lain dari analisis protein yang umum digunakan proses cerna. Hurrell dan Carpenter (1977) mendalilkan bahwa dalam ikan, karena adanya gula dalam jumlah kecil, kehilangan kemampuan protein untuk dapat dicerna juga kecil. Namun, Tanaka dan Kimura (1988) menemukan perubahan yang signifikan dalam kemampuan protein untuk dapat dicerna setelah proses thermal tuna bigeye (bermata besar). Banga (1992) menemukan kemampuan protein yang dapat dicerna yang empiris model kinetic pseudo n-order dan tidak ada perbedaan yang signifikan diperoleh setelah proses thermal standar. Dalam pengertian ini, kemampuan protein untuk mencerna, nilai biologis dan pemanfaatan protein murni tetap tidak berubah jika over-prosesing tidak dilakukan (Castrillon et al 1996.,).

H. Keterangan Final
     Pengalengan melewati beberapa tahapan proses. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengolahan sebelumnya (pendinginan, pembekuan, pemasakan) hingga sterilisasi dan penyimpanan kaleng menyebabkan pembentukan beberapa macam metabolit yang sebagian besar molekulnya relatif kecil,pengaruh kaleng terhadap konstituen ikan (terutama protein) menghasilkan kehilangan kualitas. Dan juga konstituen yaang menguntungkan (protein, asam lemak tak jenuh, vitamin) kaleng rusak selama perlakuan awal dan hilang pada produk akhir.
      Kebanyakan penelitian telah dilakukan pada perubahan yang dihasilkan dalam setiap tindakan individu termasuk dalam pembuatan produk kalengan. Namun, beberapa studi telah dilakukan untuk meneliti efek yang berbeda-beda (kondisi dingin, pembekuan dan penyimpanan beku dan pemasakan) dapat mengubah kualitas dari produk kalengan akhir. Dalam hal ini, sebuah percobaan yang lebih lengkap yang diperlukan untuk menilai pengaruh relatif terhadap setiap langkah teknologi pada kualitas gizi dan sensori.
      Karena ikan dingin dapat menyebabkan perkembangan mikroba dan autolitik besar, sebagian usaha saat ini, termasuk upaya tradisional dan strategi baru yang tepat berfokus untuk menghentikan kerusakan, sehingga bahan baku berkualitas tinggi kemudian diberi perlakuan termal. Dalam kasus penyimpanan dingin memperpanjang umur simpan dengan memodifikasi tekanan lingkungan, kemasan vakum dan perlakuan iradiasi (Whittle et al, 1990; Loaharanu, 1995;. Davies, 1997).
      Jenis yang paling banyak digunakan adalah yang jumlah lemaknya sedang dan tinggi, selama penyimpanan beku upaya yang dilakukan fokus pada menghindari kerusakan lipid dan hilangnya nutrisi, meningkatkan daya simpan jenis ikan. Dalam pengertian ini, banyak memperhatikan pada antioksidan (Erickson, 1997; Decker, 1998), lapisan krioprotektan (MacDonald dan Lanier, 1997) dan selaput yang bisa dimakan digunakan (Baker et al, 1994;.. Callegarin et al, 1997). Penelitian terbaru terutama bertujuan mengganti antioksidan sintetik dengan yang alami (Frankel, 1995); antioksidan alami telah berhasil digunakan dengan ikan cincang (Kelleher et al, 1992; Boyd et al, 1993..) dan ikan utuh atau ikan fillet ( Vareltzis et al, 1997;. Khalil dan Mansour, 1998).
     Perlakuan termal (memasak dan sterilisasi) dapat mengakibatkan kerusakan dan interaksi lebih lanjut dari sejumlah konstituen ikan yang luas. Realisasi penelitian menunjukkan bahwa ketika diberi perlakuan waktu/ kondisi suhu yang akurat selama perawatan termal kedua, tingkat retensi dari sebagian besar konstituen ikan tetap pada tingkat yang dapat diterima, asalkan bahan baku kualitas tinggi yang digunakan. Untuk mendapatkan retensi nutrient yang maksimal, beberapa perkembangan terakhir seperti memasak sous-vide (Schellekens, 1996), optimasi strategi dan pengendalian proses oleh komputer (Banga et al., 1993a) dan bekerja untuk mengisi media termasuk komponen antioksidan (Medina et al. , 1998) telah berhasil menyelidiki dan praktik mereka sekarang dianjurkan.


                                                                        KECOMBRANG

      Kecombrang, kantan, atau honje (Etlingera elatior) adalah sejenis tumbuhan rempah dan merupakan tumbuhan tahunan berbentuk terna yang bunga, buah, serta bijinya dimanfaatkan sebagai bahan sayuran. Nama lainnya adalah kincung (Medan) serta siantan (Malaya). Orang Thai menyebutnya kaalaa (Anonim, 2010). Orang Sunda menyebutnya honje. Di Bali disebut bongkot. Di Malaysia, bunga yang sama disebut bunga kantan. Dalam bahasa Inggris disebut torch ginger.
      Kecombrang akan tumbuh dan berkembang dengan baik bila ditanam di tempat yang reletif ternaungi, tanahnya beraerasi dan berdrainase baik, cukup air dan unsure hara. Bila persyaratan tersebut terpenuhi maka tanaman akan menghasilkan bunga terus menerus sepanjang tahun (Tyas, 2000). Pada waktu berumur 2 tahun, tanaman ini akan berbunga dan berbuah. Buah mirip nanas besar dan berwarna merah muda atau merah (Ugeyono, 2010).
      Tanaman ini banyak terdapat di penjuru nusantara sebagai lalapan untuk masyarakat sekitas Jawa Barat dan di Medan digunakan untuk campuran pembuatan sayur dan masih banyak lagi daerah di Indonesia yang memanfaatkan kecombrang seperti di daerah Bali (Ugeyono, 2010).
      Rumpun honje (Nicolaia speciosa horan) berwarna kemerahan seperti jenis tanaman hias pisang-pisangan. Jika batang sudah tua, bentuk tanamannya mirip jahe, dengan tinggi mencapai 5 m. Batang-batang semu bulat gilig, membesar di pangkalnya; tumbuh tegak dan banyak, berdekat-dekatan, membentuk rumpun jarang, keluar dari rimpang yang menjalar di bawah tanah. Rimpangnya tebal, berwarna krem, kemerah-jambuan ketika masih muda. Daun 15-30 helai tersusun dalam dua baris, berseling, di batang semu; helaian daun jorong lonjong, 20-90 cm × 10-20 cm, dengan pangkal membulat atau bentuk jantung, tepi bergelombang, dan ujung meruncing pendek, gundul namun dengan bintik-bintik halus dan rapat, hijau mengkilap, sering dengan sisi bawah yang keunguan ketika muda.
      Kecombrang dipetik saat bunganya masih kuncup dan berwarna merah muda. Batangnya yang muda dapat diiris halus, di tumis atau sebagai campuran sayuran berkuah. Di bagian dalam batangnya yang tua, terdapat batang berwarna putih yang sering disebut dengan rias, yang dapat digunakan untuk campuran pada sambal atau hidangan ikan/seafood (Anonima, 2008).
      Uji spektrofotometri terhadap alkaloid menghasilkan spektra yang menunjukkan serapan maksimum pada panjang gelombang antara 200-210 nm. Hal ini menyatakan adanya ikatan rangkap pada struktur kimia senyawa tersebut. Untuk ilavonoid, uji spektrofotometri dilakukan dengan penambahan pereaksi diagnostik natrium hidroksida 2 M natrium asetat, asam borat, alumunium klorida dan asam klorida sehingga menghasilkan pergeseran panjang gelombang serapan maksimum. Data spektra ultra violet senyawa flavonoid yang dianalisis mengarah pada struktur 5,7,3',4,-tetrahidroksi flavonol. Dari penelitian, disimpulkan bahwa dalam rimpang kecombrang (Nicolaia speciosa Horan.) terdapat senyawa alkaloid, flavonoid dan minyak atsiri (Antoro,1995).
      Menurut Nuri Andarwulan (2009), peneliti di Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian dan Pangan Asia Tenggara (SEAFAST) IPB, menjelaskan senyawa antioksidan alami dapat berupa senyawa fenolik (tokoferol, flavonoid, asam fenolat), senyacwa nitrogen (alkaloid, turunan klorofil, asam amino, dan amina), atau karotenoid seperti asam askorbat.
      Berdasarkan penelitian dari Sutopo Edi Antoro (1995) dapat disimpulkan bahwa dalam rimpang kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) terdapat senyawa alkaloid, flavonoid dan minyak atsiri. Selain itu, Sandrasari (2008) menambahkan bahwa ekstrak bunga kecombrang mempunyai aktivitas antioksidan yang cukup kuat, tidak kalah dengan teh hijau. Selain saponin dan flavonoid, kecombrang juga mengandung polifenol (Anonimb, 2008).
      Fitokimia atau Fitonutrien, dalam arti luas adalah segala jenis zat kimia atau nutrien yang diturunkan dari sumber tumbuhan, termasuk sayur dan buah. Dalam penggunaan umum, fitokima memiliki definisi yang lebih sempit. Fitokimia biasanya digunakan untuk merujuk pada senyawa yang ditemukan pada tumbuhan yang tidak dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh, tetapi memiliki efek yang menguntungkan bagi kesehatan. Atau penyakit yang berperan aktif bagi pencegahan penyakit. Karenanya zat-zat ini berbeda dengan apa yang diistilahkan sebagai nutrien dalam bahasa tradisional, yaitu bahwa mereka bukanlah suatu kebutuhan bagi metabolisme normal dan ketiadaan zat-zat ini tidak akan mengakibatkan penyakit defisiensi (Wahyudi, 2010). Beberapa senyawa fitokimia dalam kecombrang diantaranya:

a. Senyawa Antimikroba
    Antimikroba merupakan bahan yang bisa mencegah pertumbuhan bakteri, kapang, dan khamir. Menurut  Mahasiswa Doktoral (S3) IPB, Rifda Naufalin (2005) dalam penelitiannya yang berjudul "Kajian Sifat Antimikroba Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) terhadap Berbagai Mikroba Patogen dan Perusak Pangan", kecombrang mengandung senyawa antimikroba. Namun, kekuatan antimikroba kecombrang tergantung dari polaritas pelarut pengekstraknya. Diantara pelarut yang digunakan:Etil Asetat (semi polar), etanol (polar), dan heksana, hasil rendemen terbanyak terdapat pada pelarut heksana. Akan tetapi, kekuatan ekstraksi bunga kecombang dari pelarut heksana relatif rendah untuk bisa melawan mikroba makanan. Jadi, keefektifan antimikroba bunga kecombrang dalam penggunaannya pada bahan pangan dikatakan baik jika pelarut yang digunakan berupa etil asetat (semipolar) dan etanol (polar). Antibakteri kedua ekstrak ini lebih kuat dibanding anti kapangnya. Namun, aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat lebih tinggi dari ektraks etanol. Bunga kecombang hasil ektraksi etil asetat mampu menekan pertumbuhan Stapyllocaccus aures, L. monocytogenes, Bacillus cereus, S. Typhimurium, E. Coli, A. hydrophila dan P. aeruginosa. Diantara semua bakteri itu, yang paling sensitif terhadap ekstrak etil setat dan etanol ialah P. aeruginosa. S aureus merupakan bakteri yang paling resisten terhadap kedua ekstrak itu. Pada pH asam, aktivitas anti bakteri ekstrak etil asetat dan etanol bunga kecombrang lebih ampuh dibanding pH basa (8-9). Penambahan NaCl hingga 4 persen ekstrak etil asetat menyebabkan peningkatan aktivitas antibakteri, sedangkan penambahan konsentrasi NaCl 5 persen menyebabkan aktivitas antibakteri cenderung menurun. Dari beberpa analisa kimia tersebut, kecombrang dapat direkomendasikan sebagai pengawet alami pangan. Dan untuk keperluan ini, diperlukan kajian holistik terkait uji toksisitas, konsentrasi efektif ekstrak, dan sifat organoleptik berbagai jenis bahan pangan serta pangan olahan akibat penggunaan ekstrak bunga kecombrang. Kandungan kimia dan efek farmakologis yaitu minyak atsiri dan umbinya mengandung zat pewarna. Tanaman kecombrang bersifat manis, netral, dan menghilangkan bau badan. Efek farmakologi ini diperoleh dari penggunaan bunga (Permadi, 2008).

b. Polifenol
    Polifenol memiliki peran sebagai antioksidan yang baik untuk kesehatan. Antioksidan polifenol dapat mengurangi risiko penyakit jantung dan pembuluh darah dan kanker. Terdapat penelitian yang menyimpulkan polifenol dapat mengurangi risiko penyakit Alzheimer (Anonima, 2010).
Polifenol adalah antioksidan yang kekuatannya 100 kali lebih efektif dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih tinggi dibanding vitamin E. polifenol bermanfaat untuk mencegah radikal bebas yang merusak DNA. Polifenol membantu melawan pembentukan radikal bebas dalam tubuh dan karenanya memperlambat penuan sel . Polifenol adalah asam fenolik dan flavonoid. Khasiat dari polifenol adalah sebagai antioksidan, anti mikroba dan menurunkan kadar gula darah. Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan. Zat ini memiliki tanda khas yakni mempunyai banyak gugus fenol dalam molekulnya. Polifenol berperan dalam memberi warna pada suatu tumbuhan (Wahyudi, 2010).

c. Alkaloid
    Fungsi senyawa alkaloid:
    Alkaloid berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea dan asam urat dalam hewan (salah satu pendapat yang dikemukan pertama kali, sekarang tidak dianut lagi). Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai tandon penyimpanan nitrogen meskipun banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami metabolisme lebih lanjut meskipun sangat kekurangan nitrogen. Pada beberapa kasus, alkaloid dapat melindungi tumbuhan dari serangan parasit atau pemangsa tumbuhan. Meskipun dalam beberapa peristiwa bukti yang mendukung fungsi ini tidak dikemukakan, mungkin merupakan konsep yang direka-reka dan bersifat ‘manusia sentris’. Alkaloid dapat berlaku sebagai pengatur tumbuh, karena dari segi struktur, beberapa alkaloid menyerupai pengatur tumbuh. Beberapa alkaloid merangasang perkecambahan yang lainnya menghambat. Semula disarankan oleh Liebig bahwa alkaloid, karena sebagian besar bersifat basa, dapat mengganti basa mineral dalam mempertahankan kesetimbangan ion dalam tumbuhan (Anonime, 2010).

d. Flavonoid
    Flavonoid adalah kandungan yang ditemukan pada buah, sayur dan juga pada minuman yang mempunyai bermacam-macam keuntungan biokimia dan pengaruh antioksidan. Jumlahnya pada bahan pangan lebih besar dibanding dengan vitamin C dan Vitamin E. Kegiatan antioksidan flavonoid tergantung dari struktur molekulnya dan karakteristik molekulnya dan flavonoid banyak ditemukan pada buah dan dan minuman yang berpotensi melakukan kegiatan antioksidan. Flavonoid termasuk senyawa polifenol yang telah banyak ditemukan dialam. Bedasarkan struktur kimianya flavonoid terdiri dari flavonos, flavones, flavonones, isoflavones, catechin, antocianidines dan chalcones. Lebih dari 4000 flavonoid telah diidentifikasi dan paling banyak terdapat pada buah, sayuran dan minuman (teh, kopi, soft drink). Akhir-akhir ini flavonoid banyak dikembangkan karena potensi keuntungannya untuk kesehatan tubuh sangat banyak sekali, diantaranya mempunyai antiviral, antialergi, antitumor dan kegiatan antioksidan lainnya (Yanti, 2009).

e. Minyak Atsiri
   Dalam penelitian in vitro menunjukkan aktivitas antibakteri minyak atsiri (EO) terhadap Listeria monocytogenes, Salmonella typhimurium, Escherichia coli O157: H7, Shigella dysenteria, Bacillus cereus dan Staphylococcus Staphylococcus pada tingkat antara 0,2 dan 10 μl -1 ml. Gram-negatif kurang rentan daripada bakteri gram positif. Sejumlah komponen EO telah diidentifikasi sebagai antibakteri yang efektif, misalnya carvacrol, timol, eugenol, perillaldehyde, cinnamaldehyde dan asam sinamat, memiliki konsentrasi hambat minimum (MICs) dari 0,05-5 ml μl -1 in vitro. Sebuah konsentrasi yang lebih tinggi diperlukan untuk mencapai efek yang sama dalam makanan. Studi dengan daging segar, produk daging, ikan, susu, produk susu, sayuran, buah dan nasi telah menunjukkan bahwa konsentrasi yang dibutuhkan untuk mencapai efek antibakteri yang signifikan adalah sekitar 0,5-20 μl g -1 pada makanan dan sekitar 0,1-10 μl ml -1 pada solusi untuk mencuci buah dan sayuran (Burt, 2003).

f. Saponin
   Saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih. Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin. Saponin merupakan racun yang dapat menghancurkan butir darah atau hemolisis pada darah. Saponin bersifat racun bagi hewan berdarah dingin dan banyak diantaranya digunakan sebagai racun ikan. Saponin yang bersifat keras atau racun biasa disebut sebagai Sapotoksin (Hartono, 2010).
Perkembangan terakhir, saponin disamping mempunyai sifat yang merugikan ternyata banyak juga yang bersifat menguntungkan terhadap ternak. Saponin dapat menurunkan kolesterol, mempunyai sifat sebagai antioksidan, antivirus, anti karsinogenik dan manipulator fermentasi (Suparjo, 2010).

Manfaat Kecombrang:
      Kecombrang atau bunga honje terutama dijadikan bahan campuran atau bumbu penyedap berbagai macam masakan di Nusantara. Kuntum bunga ini sering dijadikan lalap atau direbus lalu dimakan bersama sambal, dikukus untuk dijadikan bagian dari pecel, diiris halus dijadikan campuran pembuatan megana, sejenis urap berbahan dasar nangka muda, maupun menjadi unsur penting dalam masakan laksa. Buah honje muda yang disebut asam cekala, kuncup bunga serta "polong" nya menjadi bagian pokok dari sayur asam Karo; juga menjadi peredam bau amis sewaktu memasak ikan.
      Kecombrang mengandung senyawa antioksidan, yang menurut peneliti Universitas Tufts di Boston, Amerika Serikat, Bradley Bolling, PhD mengatakan, antioksidan mengurangi akumulasi produk radikal bebas, menetralisir racun, mencegah inflamasi, dan melindungi penyakit genetik (Johan, 2009). Selain sapomin dan flavoinoida, kecombrang juga mengandung polifenol sebagai antioksidan (Jos, 2010).
      Honje juga dapat dimanfaatkan sebagai sabun dengan dua cara: menggosokkan langsung batang semu honje ke tubuh dan wajah atau dengan mememarkan pelepah daun honje hingga keluar busa yang harum yang dapat langsung digunakan sebagai sabun. Tumbuhan ini juga dapat digunakan sebagai obat untuk penyakit yang berhubungan dengan kulit, termasuk campak.
      Dari rimpangnya, orang-orang Sunda memperoleh bahan pewarna kuning. Pelepah daun yang menyatu menjadi batang semu, pada masa lalu juga dimanfaatkan sebagai bahan anyam-anyaman; yaitu setelah diolah melalui pengeringan dan perendaman beberapa kali selama beberapa hari. Batang semu juga merupakan bahan dasar kertas yang cukup baik.