“Ayo Kakak, waktunya istirahat. Kakak pipis dulu,
sama gosok gigi udah Ibu siapkan.[L1] Jangan lupa wudhu ya.”
“Siap Buk. Aku juga udah tau, kalau mau tidur itu
wudhu dulu, biar tidurnya tenang nggak digangguin syetan.”
Cuplikan pembicaraan yang setiap malam berulang. Kadang
merasa, kapan sih anak paham tanpa disuruh? Tanpa diingatkan? Duh Ibu, anakmu
baru lima tahun usianya. Bahkan masa egosentrisnya masih suka muncul.
Percayalah, kalimat berulang itu suatu saat akan
membuahkan hasil. Hanya soal waktu, yang butuh kesabaran ekstra.
Itulah
kalimat-kalimat tanda sayang. Bukankah Islam mengajarkan untuk sayang anak? Bukankah
Rasululloh mencontohkan bagaimana cara menyayangi anak-anak?
Sayang
anak itu, maknanya sangatlah luas. Dari hal receh sampai yang besar. Sejak
masa mengandungnya, ah tidak, bahkan sejak ikatan suci dua insan berbeda
kelamin itu disakralkan. Lalu melahirkannya, menyusui, menyuapi, menggendong,
mengajak main, membacakan buku cerita, menyekolahkannya, dan banyak hal
lainnya, hingga jasad ini kembali ke asalnya. Itu semua, rangkaian dari sebuah
pendidikan kepada anak.
Disini,
di Shalihah Motherhood. Banyak dibahas soal pendidikan anak, dengan
berbagai versi, beragam sumber. Dimana kita sebagai orang tua, bisa
menggunakannya sebagai referensi. Kenapa sekedar referensi? Karena kita lebih
tau apa yang dibutuhkan anak-anak kita, sebagaimana orang lain lebih memahami
kondisi anak-anak mereka. Contohnya nih, soal screen time. Entah lewat gadget,
tv, atau laptop. Orang tua pastinya ingin berikan yang terbaik dong, untuk
anak-anaknya. Makanya, peran komunikasi antara anak dan bapak ibunya, penting
banget. Dan rasa sayang diantara keluarga ini berpengaruh ke pola pendidikan. Sayangnya
sang ayah dan ibu, kadang dicurahkan dengan cara berbeda. Belum lagi sayangnya
nenek atau kakek, akan beda lagi. Nah pinter-pinternya kita mengatur saja,
supaya semua saling sinkron. Diantara kami disini, ada yang sudah
berhasil, ada yang belum. Bukan karena tanpa usaha, tapi memang masih
berproses.
Disini,
di Shalihah Motherhood. Aku belajar tentang tipikal anak. Aku belajar
tentang bagaimana
menghadapi anak tantrum. Aku belajar manajemen emosi. Aku belajar…banyak hal. Bahkan
tentang jajan anak pun, aku belajar disini. Ilmu itu bisa datang kapan saja,
dari siapa saja. Jadi, jangan pernah lelah belajar, dan juga berbagi.
Terakhir,
sebuah postingan Bunda Farzan, yang menjadi pengingat di tengah-tengah diskusi, menjadi penyubur cinta dan sayang di kala semu.
Bila
rumah tak lagi memberi keteduhan jiwa bagi penghuninya,tempat tinggal yang
megah itu hanya akan menjadi tempat penghuninya menghempaskan tubuh yang letih.
Mereka ada dalam satu rumah, tapi tak ada kebersamaan, apalagi saling rindu
saat berpisah dan saling canda saat bersama. Ibarat penumpang pesawat. Mereka
menaati peraturan penerbangan yang berlaku, makan bersama pada saat meal time
(waktu makan), tetapi tak ada kebersamaan. Satu sama lain tidak saling mengenal
meski duduk bersama. Nah, betapa mengerikannya kalau dalam sebuah rumah
penghuninya tidak saling mengenal sehingga tidak ada pertautan jiwa yang erat
antara satu dan yang lain. Mereka duduk bersama, tapi tanpa kebersamaan.
Bahkan, mereka—suami dan istri—melakukan hubungan intim, tetapi tidak ada
keintiman di hati keduanya
Alhasil,
perkara-perkara kecil akan besar akibatnya kalau kita remehkan. Berawal dari
sebutan yang tidak mengakrabkan jiwa, hubungan suami dan istri menjadi kurang
hangat. Meski komunikasi tetap berlangsung dengan lancar, tetapi tetap saja
terasa hambar. Ini pada gilirannya akan tetap menciptakan jarak psikologis
antara keduanya, bahkan dapat berlanjut sampai kepada anak. Keadaan ini
nantinya akan berpengaruh pada kualitas perhatian antar-anggota keluarga.
Ibarat shalat berjamaah, kalau shaf-nya rapat, kita akan segera tahu bahwa
makmum di sebelah kita sedang demam, tetapi sulit merasakannya bila shaf-nya
longgar. Begitu pula jika makmum di sebelah kita gelisah shalatnya sehingga
sibuk menggaruk-garuk sikunya, kita akan cepat merasakannya. Akan tetapi, ini tidak
akan terjadi jika shaf-nya sangat longgar
Merapatkan
“shaf” dalam jamaah keluarga adalah dengan menjalin kehangatan dan keakraban
dalam keluarga. Salah satu hal yang dapat kita lakukan untuk mengawalinya
adalah memanggil suami atau istri kita dengan panggilan yang akrab serta
sebutan yang baik. Sebutan yang menunjukkan penghormatan akan menumbuhkan rasa
cinta, sedangkan sebutan yang mesra serta akrab akan membangkitkan kerinduan
dan kebersamaan
Inilah
yang menumbuhkan rasa aman pada tiap-tiap penghuni rumah sehingga memungkinkan
tumbuhnya suasana yang saling mendukung dalam rumah. Inilah yang menjadikan
antara anggota keluarga dapat saling menasihati dalam kebaikan dan saling
mengingatkan dalam kesabaran (tawashaw bil haq wa tawashaw bish shabr). Di atas
itu semua yang sanggup membuat kita berlapang dada menerima masukan, bahkan
dari anak kita yang masih kecil, adalah tertancapnya iman yang lurus di hati.
Bila ini benar-benar tumbuh dalam keluarga kita, komunikasi akan berlangsung
dengan sangat mesra dan penuh kehangatan sehingga cinta dapat selalu bersemi.
Anak-anak tidak perlu gelisah di luar rumah bila ia menemukan tempat untuk
curhat di rumahnya sendiri. Begitu pula suami dan istri.
Baiklah,
there is no super dad, no wonder mom, no magnificent son or daughter. We are
just wonderfull family. Siapkah mengarungi bahtera rumah tangga yang belum
usai? Mengejar do’a-do’a yang terus mengalir? Bismillah…
Yuk, follow kami di:
IG:
@shalihah_motherhood
FB:
https://www.facebook.com/shalihahmotherhood/
Blog: Shalihah Motherhood